FATWA IMAM SYAUKANI TENTANG TRADISI YASINAN, TAHLILAN DAN HATAMAN SERTA YANG SEMISAL
Al-Syaukani berkata dalam fatwanya:
السؤال الخامس: حاصله الاستفهام عن الأعراف الجارية في بعض البلدان من الاجتماع في المساجد لتلاوة القرآن على الأموات، وكذلك في البيوت، وسائر الاجتماعات التي لم ترد في الشريعة، هل يجوز ذلك أم لا؟.
“Soal Kelima: Kesimpulan soal, pertanyaan tentang tradisi-tradisi yang berlangsung di sebagian negeri berupa perkumpulan di Masjid-masjid untuk membaca al-Qur’an bagi orang-orang yang sudah meninggal. Demikian pula perkumpulan di rumah-rumah, dan perkumpulan-perkumpulan lain yang tidak datang dalam syari’at. Apakah hal tersebut boleh atau tidak?
أقول: لا شك أن هذه الاجتماعات المبتدعة إن كانت خالية عن معصية سليمة من المنكرات فهي جائزة، لأن الاجتماع ليس بمحرم في نفسه ، لا سيما إذا كان لتحصيل طاعة كالتلاوة ونحوها. ولا يقدح في ذلك كون تلك التلاوة مجعولة للميت، فقد ورد جنس التلاوة من الجماعة المجتمعين كما في حديث: ” اقرأوا على موتاكم يس ” وهو حديث حسن ، فلا فرق بين تلاوة يس من الجماعة الحاضرين عند الميت أو على قبره، وبين تلاوة جميع القرآن أو بعضه لميت في مسجده أو بيته.
Aku berkata: “Tidak diragukan lagi bahwa perkumpulan-perkumpulan yang diada-adakan ini, apabila bersih dari kemaksiatan, selamat dari kemungkaran, maka hukumnya boleh. Karena perkumpulan itu tidak diharamkan sebab perkumpulannya itu. Lebih-lebih apabila perkumpulan tersebut untuk melaksanakan ibadah seperti membaca al-Qur’an dan sesamanya (dzikir dan Tahlilan). Perkumpulan tersebut juga tidak dapat dicela karena bacaan al-Qur’an nya dihadiahkan bagi orang yang sudah meninggal. Karena jenis bacaan al-Qur’an dari jamaah yang berkumpul benar-benar telah datang seperti dalam hadits, “Bacakanlah surah Yasin bagi orang-orang meninggal kalian.” Hadits ini adalah hadits hasan. Jadi tidak ada bedanya antara membaca surat Yasin, dari jamaah yang hadir di sisi si mati, atau di atas makamnya, dan antara membaca seluruh al-Qur’an atau sebagian bagi si mati, di Masjid nya atau di rumahnya.
وبالجملة فالاجتماعات العرفية التي لم يرد جنسها في الشريعة إن كانت لا تخلو عن منكر فلا يجوز حضورها، ولا يحل تطييب نفس الجار بحضور مواقف المنكرات والمعاصي وإن كانت خالية عن ذلك، وليس فيها إلا مجرد التحدث بما هو مباح، فهذا لا نسلم أنه لم يرد جنسه في الشريعة المطهرة، فقد كان الصحابة الراشدون يجتمعون في بيوتهم ومساجدهم، وعند نبيهم – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ويتناشدون الأشعار، ويتذاكرون الأخبار، ويأكلون ويشربون، فمن زعم أن الاجتماع الخالي عن الحرام بدعة فقد أخطأ، فإن البدعة هي التي تبتدع في الدين، وليس هذا من ذاك.
Kesimpulannya, perkumpulan-perkumpulan tradisional yang jenisnya tidak datang di dalam syariat, apabila tidak bersih dari kemungkaran, maka tidak boleh menghadirinya. Tidak boleh menyenangkan hati tetangga dengan menghadiri tempat-tempat kemungkaran dan kemaksiatan. Apabila perkumpulan tersebut bersih dari hal itu, dan isinya hanya sekedar membicarakan hal-hal yang dibolehkan, maka hal ini kami tidak menerima jika dikatakan bahwa jenis perkumpulan tersebut tidak terdapat di dalam syariat yang suci. Karena para sahabat yang memperoleh petunjuk selalu mengadakan perkumpulan di rumah-rumah dan masjid-masjid mereka, dan di sisi Nabi mereka shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka saling menembangkan syair (persis maulidan), saling mengingatkan berita-berita, mereka makan dan minum di situ. Siapa yang berasumsi bahwa perkumpulan yang bersih dari haram itu bid’ah, maka ia telah benar-benar keliru. Karena bid’ah itu sesuatu yang diada-adakan dalam agama. Sedangkan perkumpulan (Yasinan, Hataman, Tahlilan dan semacamnya) ini bukan termasuk bid’ah tersebut.” (Al-Fath al-Rabbani min Fatawa al-Imam al-Syaukani, juz 9 halaman 4502).
والله أعلم.......
📝 Di kutib dari tulisan Ustadz Idrus Ramli حفظه الله
Comments